“Nama saya Aisyah...”
“Aisyah? Nama lengkapnya?”
“Aisyah...ng...Aisyah Marpho Amathonte.”
“Apa?Anakonde?
“Uleer doong!”
Derai tawa riuh memenuhi langit-langit baru Aisyah. Lagi-lagi kepalanya tertunduk malu.
Tragedi itu terjadi lagi. Ya, tragedi nama belakang. Setiap kali harus menghadapi lingkungan baru, tragedi itu selalu saja terjadi pada Aisyah. Seperti nasib sial yang menguntit ke mana pun Aisyah pergi. Uh, kesel!
“Semua ini gara-gara Ayah. Coba dulu Ayah ngasih nama yang masuk akal, pasti nggak begini nasib Aisyah. Ayah jahat. Ayah jahat!” Aisyah mengomel marah. Mukanya berlipat bersungut-sungut.
“Aisyah, nggak boleh begitu. Nggak baik. Bunda yakin Ayah sayang kok sama Aisyah,” Bunda mencoba melerai amarah Aisyah.
“Tapi nama Marpho Amatonthe itu terlalu aneh, Bunda. Aisyah jadi malu. Nama Aisyah selalu diplesetin jadi macem-macem.”
Aisyah ingat sebelum kejadian hari ini pun nama plesetan yang muncul tidak kalah seram. Ada yang jadi Aisyah Kandang Kude, Aisyah Bau Unte, Bahkan jadi Aisyah Ole-Ole (emang bola!).
Yang bikin Aisyah tambah kesal, dia nggak bisa menjelaskan arti namanya itu sehingga plesetan tak kunjung berhenti. Bahkan kian parah. Aisyah Onde-Onde, kumis Lele, Makan Pete...
“Emang artinya apa sih, bunda?”
Bunda mengangkat bahu. Tidak tahu katanya. Alasanya Ayah keburu meninggal sebelum menjelaskan apa artinya pada Bunda.
“Memang Bunda nggak ikutan ngasih nama sewaktu Aisyah lahir?”
“Waktu itu Bunda dan Ayah udah janjian. Kalau yang lahir anak laki-laki, Bunda yang kasih nama. Tapi kalau anak perempuan...”
“Ayah yang beri nama...” Aisyah melanjutkan hambar. Bunda mengangguk membenarkan.
Oh, malang nian nasib Aisyah. Kenapa harus terlahir dengan nama belakang yang aneh. Andai saja dia bisa berfikir dan berbicara sewaktu lahir pasti dia menolak mentah-mentah nama itu. Hh, Aisyah jadi teringat kata-katanya Om Shakespierre. Apalah arti sebuah nama, katanya. Mmh, jelas saja dia bilang begitu. Dia tidak tau sih rasanya punya nama kayak namanya.
Huh, marpho Amathonte, nama macam apa itu?!
****
“Penah denger?” Aisyah bertanya penuh harapan. Sayang Anastasia menggeleng cepat.
“Nggak tuh. Malah baru denger.”
Aisyah hanya membisu maklum. Dia mengerti kalau Anastasia, teman barunya itu, tidak pernah mendengar arti dari kata Marpho Amathonte. Siapa yang ngerti coba!?
“Tanya ortumu aja.”
“Bunda nggak tahu, Nas.”
“Ayahmu?”
“Ayah sudah meninggal.”
“Oh....sorry. Syah.”
“Nggak pa-pa kok.”
Diskusi vakum beberapa detik. Baik Aisyah maupun Anastasia masing-masing asyik dengan pikiranya sendiri.
“Memang Ayahmu dari mana. Syah?”
“Dari Bugis. Memang kenapa?”
“Yaaah, mungkin nama kamu itu dari nama orang Bugis kali. Tapi apa iya ya, nama orang Bugis seperti itu?”
Mata Aisyah mengerling plus manyun ke arah Anas. Nih orang nanya tapi malah jawab sendiri, pikirnya.
“Nama Ayah kamu siapa, Syah?”
“Ahmad. Ahmad Daeng Rewa.”
“Wuih, keren banget tuh. Kok nama kamu nggak Aisyah Daeng Rewa aja yah. Kan keren tuh kedengaranya. Gabungan nama Islami plus nama Bugis.”
Perkataan Anastasia sejenak membuat Aisyah berfikir. Ah, andai Ayah berfikir sesederhana seperti Anas. Pasti keadaanya tidak seperti sekarang ini. Yaaah, setidaknya dia tidak akan pusing menjawab kalau ada orang bertanya apa arti Daeng Rewa itu. Bilang saja nama belakang Ayah. Beres kan. Lha ini. Apa nama Amathonte saja Aisyah tidak tahu. Apa nama kue atau nama makanan atau nama tanaman...beneran tidak tahu deh. Punya gambaranya pun tidak.
Ah, Aisyah asli pusing. Lagi pula tidak ada sejarahnya tuh nama keluarga Ayah dari Bugis en Bunda dari Jakarta pakai nama belakang Marpho Amathonte. Hanya Aisyah doang!
Sodara-sodara, ada yang tahu nggak?
****
“Perkenalkan. Nama Ibu Hafsah Jannati. Nama kamu siapa?”
Aisyah dongkol berat. Kenapa sih dia selalu terjebak dalam dilema ini. Dilema yang kian hari bukan bertambah ringan tapi sebaliknya. Aisyah capek setiap kali harus berfikir dulu untuk menyebut utuh namanya pada orang lain. Seperti kali ini.
“Nama saya Aisyah, Bu.”
“Aisyah? Nama panjangnya apa ya?”
Tuh kan. Persis. Aisyah naas lagi nih ceritanya.
Aisyah menarik nafas panjang. Mencoba untuk mengumpulkan kekuatan. Kekuatan untuk menghadapi segala ejekan, hinaan, plesetan yang mungkin akan muncul...siap?!
“Nama saya Aisyah...ngg...Marpho...Amatonthe, Bu.”
“Apa? Marpho Amatonthe?!”
Aisyah mengangguk ragu. Kemudian hening. Semua bisu. Hanya angin yang berbicara lewat siuranya. Memainkan jilbab lebar kedua Muslimah itu hingga terlihat berombak. Hingga...
“Hmm. Aisyah Marpho Amatonthe. Nama yang bagus.”
Haah, mata Aisyah membelalak. Terkejut alias kaget bin shock!
“Bagus, Bu?” Aisyah bertanya dengan nada tidak percaya. Habis mau percaya bagaimana coba? Nama itu sejarah hidupnya selama ini selalu menjadi ejekan semua orang. Tapi kali ini dipuji? Weleh-weleh.
“Iya bagus.”
Aisyah masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kali ini Aisyah malah mencoba berfikir lebih fokus. Kira-kira bagian mana dari namanya yang dibilang bagus okeh Bu Hafsah.
Marpho? Uh nggak mungkin. Tuh bagian nulisnya saja tidak lazim. Ppake H. Bacanya Mar-PH-o. Asli nyiksa tenggorokan.
Apa Amathonte? Ih...ini lagi. Aneh plus nyusahin. Bagian yang paling sering di plesetkan. Ah, Aisyah jadi teringat hinaan yang lain. Ama siapa, Syah? Ama Tante ya. Kayak Poltak aja. Hihi.
Aisyah menyerah. Sungguh dia tidak mengerti kenapa Bu Hafsah menyebut nama itu bagus. Entah di mana letak bagusnya. Apa jangan-jangan Bu Hafsah salah dengar. Apa sengaja ngeledek. Bagusnya pakai tanda kutip kali? Jadi “bagus” alias juelek tenan.
“Lho, kamu nggak percaya nama kamu bagus?”
Aisyah yang di tanya menggeleng mantap. Bu Hafsah tersenyum.
“Memang kamu nggak tahu Marpho Amathonte itu apa, Syah?”
Sekali lagi Aisyah menggeleng. Dirinya benar-benar lumpuh untuk pertanyaan satu itu. Hanya bisa menjawab dengan gelengan.
“Ibu tahu kok artinya”
“Ibu tahu?” Aisyah bertanya penasaran. Bu Hafsah mengangguk.
“Iya. Ibu tahu.”
“Apa artinya, Bu?” Mata Aisyah tampak binar. Penuh harapan. Wajar dong. Baru kali ini ada orang yang bilang tahu arti nama belakang Aisyah setelah bertahun-tahun mencari. Akhirnya...
“Aisyah itu nama salah satu istri Rasulullah yng cantik dan cerdas. Sedang Marpho Amathonte adalah...” Perkataan Bu Hafsah menggantung. Membuat Aisyah tambah deg-degan di buatnya.
Tiiin! Tiiin!
Suara mobil di klakson dari luar pintu gerbang sekolah. Bu Hafsah tersentak.
“Wah, suami ibu sudah jemput tuh. Besok saja yah di jelasinya. Kebetulan ibu ada jam biologi kan di kelasmu besok. Jadi besok saja di jelasinya di depan kelas. Ibu buru-buru nih. Yuk, Syah. Assalamu’alaikum...”
Bu Hafsah terlalu cepat. Aisyah yang bingung jadi gelagapan dan telat mencegah.
“Wa’alaikumussalam. Tapi Bu, jangan. Aisyah bisa mal...”
Tapi tubuh itu sudah menghilang. Bersama suara deru mobil yang melaju di jalan. Aisyah terlambat.
***
Decak-decak kagum meningkahi menit-menit terakhir jam biologi hari ini.
“Ck...ck...ck.”
“Cakep ya?”
“Ho-oh. Ho-oh.”
“Subhanallah.”
Hari ini tanpa di duga Bu Hafsah datang mengajar sambil membawa koleksi kupu-kupu. Yah, kupu-kupu. Katanya sih peninggalan ayahnya. Koleksinya asli cakep. Bermacam-macam kupu-kupu aneka warna menghiasi koleksi itu. Berbagai motif, corak, dan bentuk. Seluruh kelas menatap kagumkoleksi itu tak henti-hentinya.
“Eh, kupu-kupu yang itu warnanya keren yah. Sayapnya lebar lagi.”
“kupu-kupu yang itu tuh yang cakep. Motif sayapnya cakep banget.”
“Woi, yang itu juga keren. Warnanya cantik khan.”
“Yang itu namanya apa, Bu?”
“Oh, ini. Ini namanya Papilio Yordania.”
“Wuah, hebat. Kupu-kupu luar negeri yah? Pantes cakep banget. Indo sih. Dari Yordania kan, Bu?”
“Huss, ngaco. Ini kupu-kupu domestik. Dari Palu, Sulawesi!”
Seisi kelas koor tertawanya. Kecuali Aisyah. Dia tegang abis. Dia teringat janji Bu Hafsah kemarin. Dalam keteganganya Aisyah diam-diam berdoa supaya Bu Hafsah lupa dengan janjinya. Aisyah takut kalau kali ini pun lagi-lagi dia akan di permalukan. Rupanya dia masih tidak percaya sama “bagus” nya Bu Hafsah.
Saat-saat seperti ini tak urung Aisyah kembali menyalahkan Ayahnya yang sudah meninggal. Lelaki itu jahat bukan main, pikirnya. Ayah pasti sudah tahu betul nama ini akan membuatnya malu suatu saat kelak. Pasti. Ayah pasti benci Aisyah. Nama yang di berikanya bukanlah doa atau harapan. Tapi gurauan. Gurauan yang buruk.
Tepat enam menit lagi jam biologi ini berakhir. Aisyah tahu betul itu. Dia terus memantau jam tanganya sembari menghitung tiap detik dan menit. Berharap semuanya akan cepat berlalu. Tiba-tiba mata Bu Hafsah melirik ke arah Aisyah. Dalam hati Aisyah hanya bisa berdoa... “Ya Allah, biarkanlah Bu Hafsah lupa...”
“Oh iya anak-anak. Ibu baru ingat sesuatu.”
Innalilllahi, Bu Hafsah ingat! Spontan jantung Aisyah ser-seran. Rasanya tidak kuat harus di tertawakan seisi kelas sekali lagi.
“Masih ada satu lagi koleksi ibu yang terlupa.”
Pyuuf, Aisyah bernafas lega. Jantungnya serasa plong. Dugaanya ternyata salah.
Di depan kelas Bu hafsah kemudian merogoh tas besar bawaanya. Lalu dengan hati-hati dia mengeluarkan satu lagi kotak kaca kecil dari dalamnya.
“Walah, apalagi itu, Bu?”
“Wow. Kereeen.”
“Indah yaa...”
“Iya. Lihat coba. Seperti kupu-kupu dari surga.”
“Anggun.”
“Cool banget.”
“Namanya apa, Bu?”
Beruntun pujian dan pertanyaan menyambut kupu-kupu dalam kotak kaca kecil yang baru di keluarkan Bu Hafsah. Bu Hafsah tersenyum. Pandanganya menyapu seluruh murid. Hingga akhirnya berakhir pada Aisyah. Aisyah yang di tatap kembali merasa gugup. Lalu berpura-pura menekuri buku biologinya. Hati Bu Hafsah tertawa kecil. Aisyah ketakutan sekali menatapnya. Tapi sebentar lagi sikapnya pasti akan berubah...
“Namanya Marpho. Marpho Amathonte, anak-anak. Seperti nama belakang Aisyah, teman kalian.”
Aisyah tersentak. Degup jantungnya tiba-tiba berdenyut tak beraturan. Kepalanya berkerenyit panas. Apa, apa?! Marpho Amathonte apa? Kupu-kupu?!
Ternyata tak hanya Aisyah yang terkejut. Seluruh kelas. Semua mata menatap tak percaya ke arah Bu Hafsah dan Aisyah secara bergantian. Mulut mereka menganga. Bengong. O, bulet!
“Bu, jangan bohong, Bu...” satu suara seolah mewakili keheranan seisi kelas.
“Tidak. Ibu tidak bohong kok. Kupu-kupu ini memang namanya Marpho Amathonte kok.”
Sekali lagi kelas seakan gempar. Ribut dengan suara-suara keterkejutan dan kebingungan. Aisyah sendiri? Dia kaku tak bergerak!
“Nah, Aisyah. Sekarang mengerti kan kalau kemarin Ibu bilang nama kamu bagus. Nama pemberian Ayahmu itu tidak jelek kok. Ibu rasa nama itu mengandung doa dan harapan dari Ayahmu. Aisyah Marpho Amathonte adalah nama untu kesalihan, kecerdasan, kecantikan dan keagungan. Marpho Amathonte bukan nama yang jelek. Itu nama kupu-kupu yang indah ini, Syah...”
Aisyah masih dalam kecengangan. Dia benar-benar tak menyangka. Marpho Amathonte, nama yang selama ini di bencinya itu ternyata adalah nama seekor kupu-kupu, binatang bersayap indah itu. Berkali-kali dirinya merasa tak menginjak tanah. Melayang di udara. Entah, mungkin merasa dirinya bermimpi. Hatinya bergemuruh. Gemuruhnya pilu dan menyedihkan.